Kamis, Agustus 09, 2007

Berkaca pada Diponegoro (Renungan 17 Agustusan)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Demikian Presiden RI pertama Soekarno sering mengingatkan. Benar, berkat jerih-payah para pahlawan dan tentu saja juga berkat rahmat Allah – sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alenia III – kita dapat menikmati alam kemerdekaan yang bulan ini mencapai tahun ke-62.
Tetapi mengenang jasa-jasa pahlawan adalah pekerjaan mudah. Bagaimana dengan meneladani perjuangan mereka? Ini lain soal. Lebih-lebih di masa sekarang, pada saat negeri ini butuh pemimpin yang benar-benar dapat menjadi teladan dan bukan sekadar “pemimpin” yang kebetulan sedang memangku suatu jabatan belaka. Memang tepat kalau ada yang menyebut bahwa kita sedang mengalami “krisis keteladanan”. Walhasil, semakin panjang saja daftar krisis yang harus kita derita!
Nah, pada kesempatan kali ini penulis mengetengahkan salah seorang putra terbaik bangsa yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berjuang meraih kemerdekaan. Beliau adalah Pangeran Diponegoro.
Ada
dua alasan kenapa penulis memilih Diponegoro (dengan tanpa mengecilkan peran pahlawan lainnya). Pertama, perjuangan (baca: perang) yang dilakukan Diponegoro melawan penjajah Belanda merupakan perang terbesar yang pernah terjadi di Nusantara. Perang yang disebut Java War dalam literatur Inggris atau de Oorlog op Java dalam literatur Belanda itu disebut terbesar karena berlangsung cukup lama, 5 tahun (tahun 1825 – 1830), menggunakan strategi perang yang belum pernah ada di dunia sebelumnya, yaitu Stelsel Benteng dan memakan korban yang luar biasa banyak: 15.000 serdadu di pihak Belanda dengan rincian 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa dan 7.000 serdadu pribumi (serdadu bayaran yang umumnya berasal dari Madura, Bali dan Ambon) serta membunuh 200.000 orang Jawa dan membumihanguskan hampir seluruh daerah Jogyakarta. Adapun total biaya perang di pihak Belanda adalah sebesar 19 juta Gulden, yang kemudian dibebankan kepada Sultan Jogya. Menunjukkan betapa luar biasanya perjuangan yang beliau lakukan.
Kedua, dari sisi psikologis yaitu sifat-sifat beliau yang luhur yang patut dijadikan acuan bagi siapa saja, khususnya bagi para pejabat yang berkat jasa pahlawan – termasuk Diponegoro – mereka sekarang bisa ongkang-ongkang di kursi kekuasaan.

Latar Belakang Java War
Diponegoro mengajak rakyat berperang dengan semboyan “Sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi tekan pati” (sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati) melawan serdadu Belanda pimpinan Jendral de Kock adalah untuk Jihad fi Sabilillah (berjuang di jalan Allah) demi kehidupan yang lebih baik. Faktor Jihad-lah yang menjadi motivasi terkuat beliau. Jadi sama sekali bukan demi pemuasan obsesi pribadi, kepentingan keluarga, golongan apalagi partai politik tertentu. Cita-cita beliau adalah mendirikan Balad (negara) Islam yang adil bagi seluruh rakyat berdasarkan Al-Qur’an (Djamhari: 2003, hal. 233).
Moedjanto (dari http:// kompas.com/ kompas-cetak/ 0405/ 17/ opini/ 990509.htm) juga menyebutkan sebagai suatu gerakan menuntut keadilan. Akumulasi ketidakadilan yang dipicu dari berbagai praktek penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat, mendorong rakyat menunggu-nunggu datangnya pemimpim yang mempunyai tradisi pemerintahan dan keprajuritan serta yang terkenal dekat dengan rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro.
Sayangnya, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (Kartodirdjo, dkk: 1975) yang menjadi referensi buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah terlalu menitikberatkan pada konflik internal dan perebutan tahta Kraton Yogyakarta serta faktor diserobotnya tanah makam leluhur beliau di Tegal Rejo oleh Belanda sebagai penyebab perang. Demikian pula dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (Ricklefs: 2005). Faktor jihad fi sabilillah, entah kenapa sering tidak dimunculkan. Alergi dengan kata “Jihad”? Wallahu’alam.

Kepribadian Diponegoro
Berikut sifat-sifat Diponegoro yang menjadikan nama beliau harum dan disegani kawan maupun lawannya. Perlu ditiru siapa saja khususnya pemimpin zaman sekarang.

  • Egaliter. Meskipun Diponegoro berkedudukan tinggi tetapi beliau dikenal dapat bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat tidak peduli bangsawan maupun rakyat jelata. Terbukti begitu perang meletus, rakyat pun membela tanpa diminta.
  • Sederhana. Sebagai seorang pangeran Kraton Yogya, Diponegoro bisa saja hidup bermewah-mewah tetapi berkat pengetahuan agama yang dalam beliau memilih hidup zuhud. Bahkan beliau sering memakai pakaian yang sama sederhananya dengan yang dipakai rakyat.
  • Cerdas. Diponegoro tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga sangat piawai meracik strategi sehingga membuat Belanda yang berkekuatan jauh lebih besar kesulitan memadamkan perjuangannya.
  • Ksatria. Beliau sering dengan berani memimpin sendiri operasi-operasi militer, tidak hanya duduk-duduk saja di tenda komando menunggu hasil perang. Disebutkan juga sifat ksatria beliau lainnya dalam Babad Diponegoro bahwa beliau pernah berkesempatan menusukkan keris pada si musuh besar Jendral de Kock dalam perundingan untuk mengakhiri perang pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, tetapi hal itu tidak beliau lakukan.
  • Mencitai rakyat. Dalam perundingan di Magelang tersebut, beliau mengatakan bahwa apabila ada yang harus dihukum atau dibunuh karena perang yang terjadi maka dialah orangnya, rakyat Jawa tidak bersalah dan hanya mengikutinya saja. Hal itu dilakukan karena beliau mencintai rakyatnya, melebihi diri beliau sendiri.
  • Menepati janji. Beliau dikenal selalu menepati janji, bahkan kepada pihak musuh sekalipun.

Jadi, apabila pada zaman ini masih ada pemimpin dengan tipikal seperti itu maka kita wajib mendukungnya 100 %. Tetapi pemimpin yang sekarang banyak beredar malah kebalikannya: sudah tidak merakyat, bergaya hidup mewah, culas dan tega mengorbankan kepentingan orang banyak demi nafsu pribadi, golongan, atau partainya, terlebih selalu mengingkari janji-janji yang dia buat sendiri sebelum berkuasa (baca: ketika kampanye).Ingat, kita pun saat ini sedang dalam “masa perang”. Memerangi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), kemiskinan, kebodohan, ekonomi yang amburadul, birokrasi yang carut-marut, biaya kesehatan yang mahal, sistem pendidikan yang membingungkan, tingkat kriminalitas yang tinggi, maraknya peredaran narkoba, kemerosotan moral, hutang-hutang luar negeri dan masih sangat banyak “perang” yang harus kita hadapi. Pendek kata: kita butuh pimpinan yang mumpuni, ya seperti Diponegoro itu! Agar rakyat negeri ini secepatnya mencapai cita-cita kemerdekaan yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia, seperti yang juga dicita-citakan para pahlawan pendahulu kita, termasuk Pengeran Diponegoro. Tetapi, masih adakah orang seperti beliau? Kalaulah ada, pasti sudah tergolong makhluk yang sangat langka!

...
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali Tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
...*


*Ket.: petikan sajak berjudul “Diponegoro” karya Chairil Anwar/tahun 1943

(Artikel ini dimuat di mingguan lokal Ponorogo Pos No. 310 Tahun VI, 09 - 15 Agustus 2007)

Tambahan: Untuk Mbak Niek, thank's atas koreksi ejaannya.

Tidak ada komentar: