Rabu, Mei 20, 2009

UU BHP: Untuk Kebangkitan Pendidikan Nasional?

Kita mahfum, betapa pendidikan adalah causa prima untuk menuju kebangkitan, baik bagi individu, masyarakat, maupun lingkup yang lebih luas: negara. Dan, pendidikan yang berkualitas akan berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa. Bahkan Tuhan telah "menuliskan" dalam Lauhul Mahfudz-Nya bahwa peringatan Hari Pendidikan Nasional di Republik ini dilakukan lebih dulu dari pada Hari Kebangkitan Nasional. Maknanya gamblang: kita disuruh-Nya pintar duluan kalau mau bangkit (baca: maju). Tak ada tawar-menawar, tak ada politik dagang sapi seperti kelakuan oknum-oknum politikus untuk berbagi kekuasaan pasca pemilu. Dalam UUD 1945 pasal 31 (amandemen) pun dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara, demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebenarnya pemerintah melalui Depdiknas telah berada di jalur yang benar dalam upaya memajukan pendidikan nasional dengan merumuskan konsep tiga pilar pembangunan pendidikan. Pertama, pendidikan yang merata dan dapat diakses oleh seluruh anak bangsa. Kedua, pendidikan yang bermutu, berdaya saing tinggi dan relevan dengan kebutuhan zaman. Ketiga, pendidikan yang dikelola secara good governance. Dari segi konseptual, tiga pilar tersebut memang merupakan persoalan mendasar pendidikan di negeri ini (1). Tapi dalam implementasinya, konsep yang baik itu seringkali tidak sesuai dengan harapan akibat regulasi bikinan pemerintah sendiri yang kontraproduktif. Salah satunya adalah UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan).

UU BHP Mencederai Hak Asasi Rakyat?
UU yang disahkan DPR tanggal 17 Desember 2008 itu memang sarat kontroversi. UU BHP dianggap meliberalisasi dan mengkapitalisasi sektor pendidikan, karena pemerintah meminta (memaksa?) lembaga pendidikan untuk mandiri (baca: mencari uang sendiri) demi membiayai ongkos operasionalnya dengan cara membebankannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, UU BHP menyiratkan pemerintah lepas tangan terhadap kewajiban menanggung biaya pendidikan, yang sejatinya adalah amanat UUD 1945. Tak pelak, keberadaan UU tersebut membuat rakyat - terutama lapisan bawah - meradang dan memunculkan demo penolakan besar-besaran. Mencuat pula wacana untuk me-judical review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut pakar pendidikan Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,Ed. mem-BHP-kan sektor pendidikan beserta segala implikasinya (terutama privatisasi dan komersialisasi), serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperkirakan akan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan - menurut Beliau - sejak dari kabinet pertama sampai sekarang dianggap tidak pernah mempunyai kesinambungan yang jelas mengenai visi dan misi kependidikan nasional ke masa depan. Perhatian hampir semua kebijakan pendidikan terbatas hanya pada situasi saat itu alias bersifat temporer dan pragmatis (2). Karena itu, di mata para praktisi pendidikan di lapangan terutama guru di akar rumput, kondisi tersebut membingungkan dan berdampak sangat buruk bagi kemajuan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.

Walhasil, kemunculan UU BHP yang diharapkan pemerintah dapat memperbaiki kualitas pendidikan nasional dikhawatirkan malah membuat krisis baru yang makin parah. Pemerintah bukan saja dianggap secara terang-terangan hendak mengabaikan cita-cita Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 pasal 31 (amandemen), tetapi juga dituduh menghalangi hak-hak dasar warganya untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas demi meningkatkan harkat dan martabat diri. Jika benar demikian adanya, bisa-bisa keterpurukan di segala bidang masih akan terus kita rasakan. Indeks kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia tidak akan kunjung mentas dari urutan buncit. Kebangkitan Nasional yang dicita-citakan sejak seabad silam pun akan semakin jauh panggang dari api.

Nah, sekarang bertanyalah pada rumput yang bergoyang: berapa biaya riil yang harus dikeluarkan seorang anak bangsa untuk sekedar mengenyam pendidikan - yang seharusnya sudah menjadi haknya - khususnya di perguruan tinggi? Percuma bertanya pada pemerintah. Mereka masih sibuk kongkalikong untuk pilpres bulan Juli mendatang. UU BHP untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional katanya? Jangan bercanda!!!

By: Rotmianto
(Sebuah refleksi kecil di Hari Kebangkitan Nasional. Rabu, 20/05/2009 waktu subuh)

Referensi:
1. Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI).
2. Indonesia On Time dot com.


File terkait:
1. Beberapa potret ketimpangan sosial di Indonesia.

Tidak ada komentar: