Kamis, Juni 28, 2007

Ke Mana Bola Reformasi Bergulir?

9 tahun berlalu sejak api reformasi mencapai klimaks pada bulan Mei 1998. Rezim Soeharto, sebagai pihak yang dituduh paling bertanggung-jawab atas pemiskinan dan pembodohan sistematis di negeri ini berakhir setelah berkuasa kurang lebih selama 3 dekade. Tepatnya Soeharto benar-benar lengser pada tanggal 21 Mei 1998. Sehingga hari itu disebut-sebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional ke-2. Setuju atau tidak tak perlu dipolemikkan lebih lanjut. Yang jelas harga yang kadung dibayarkan untuk melengserkan jenderal bintang lima itu teramat mahal. Korban jiwa dan harta benda tidak terhitung banyaknya.

Kita tentu belum lupa, tanggal 12 Mei 1998 ketika demonstrasi yang dimotori mahasiswa sedang panas-panasnya, lagi-lagi darah anak-anak ibu pertiwi harus tumpah tertembus peluru yang ditembakkan oleh sesama anak ibu pertiwi sendiri. Ironi yang menyedihkan memang. Mereka adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta: Elang Mulya Lesmana, Herry Hertanto, Hendriawan Sie dan Hafidhin Royan. Kalau bukan karena kejadian itu, keempat mahasiswa itu tentunya sudah meraih gelar sarjana dan siap memberikan segenap kemampuan untuk keluarga serta masyarakatnya. Namun takdir menentukan bahwa gelar sebagai Pahlawan Reformasi lebih pantas mereka sandang dari pada “hanya” gelar sarjana.
Peristiwa penembakan empat mahasiswa itu menjadi pemicu terjadinya huru-hara besar di Jakarta sehingga menewaskan lebih banyak lagi korban akibat terjebak dalam kerusuhan dan kebakaran. Korban luka-luka tidak terhitung, sementara kerugian material mencapai 250 juta US Dollar dengan sekitar 3000 bangunan hancur. Kerusuhan yang sama parahnya merembet ke Solo, Surabaya, Makassar dan kota-kota lainnya di penjuru tanah air. Satu lagi peristiwa kelam tercatat (dengan terpaksa) dalam lembar sejarah Indonesia pasca kemerdekaan.

Reformasi dalam Dagelan Sepak Bola

Kalau boleh meminjam bahasa bola ala Emha Ainun Nadjib, mari kita bertanya: sudah ‘gol’ belum agenda-agenda reformasi yang nota bene terlanjur dibayar dengan harga yang tak terperikan itu? Agenda reformasi seperti: 1. Turunkan dan adili Soeharto dan kroninya; 2. Hapus dwi fungsi ABRI; 3. Berantas KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme); 4. Reformasi hukum dan undang-undang; 5. Perbaikan ekonomi dan kesejahteraan seluruh rakyat itulah gol-gol yang wajib dicetak oleh para pemegang tampuk kekuasaan Republik Indonesia pasca Soeharto.
Bola telah digiring oleh beberapa presiden mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, dan yang sedang berlangsung SBY, apakah gol-gol itu berhasil dicetak? Analogikan saja seperti sebuah pertandingan antar dua tim. Kali ini antara tim “Pro Reformasi” versus tim “Kontra Reformasi”.
Nah, untuk turunkan Soeharto skor sudah jelas 1-0 untuk tim “Pro Reformasi”. Namun untuk mengadilinya ibarat ‘membentur tembok’ penjagaan Pepe Reina kiper kesebelasan Liverpool yang terkenal ulet dan cerdas mematahkan serangan lawan itu. Apalagi sejak pengadilan Soeharto dihentikan dengan alasan kesehatan. Entah hanya ‘diving’ atau sungguhan wallahu’alam. Payahnya, kroni-kroni Soeharto – jangankan diadili – ternyata masih mempunyai ‘ball possesion’ di lapangan politik bahkan ‘pergerakannya’ bisa seliar Kaka playmaker AC Milan yang berhasil membawa kesebelasannya mencapai final Liga Champion Eropa tahun ini. Terbukti tidak sedikit mantan orang-orang dekat Soeharto yang masih memegang jabatan penting di stadion, eh maaf, di republik ini. ‘Counter attack’ dari tim ”Kontra Reformasi”. Skor pun menjadi 1-1.
Sedangkan untuk urusan hapus dwi fungsi ABRI, kinerja tim “Pro Reformasi” cukup memuaskan. Sejak pemerintahan Habibie, ABRI akhirnya sedikit demi sedikit tidak lagi bermain di lapangan politik. ABRI (kini kembali menjadi TNI) back to barrack, sepenuhnya berperan dalam bidang pertahanan bangsa. Skor 2-1 untuk “Pro Reformasi”.
Selanjutnya untuk berantas KKN. Setelah bertahun-tahun menggondol scudetto sebagai negara terkorup di Asia baru beberapa waktu ini turun peringkat menjadi runner-up. Meskipun tentu saja, posisi sebagai runner-up bukan sesuatu yang membanggakan untuk urusan korupsi. Sementara kasus-kasus pengadilan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan semua pemerintahan pasca lengsernya Soeharto dianggap banyak kalangan hanya tebang pilih dan dilakukan setengah hati. Kasus-kasus yang melibatkan tokoh berbacking politik kuat susah diusut tuntas dan dana yang dikemplang para koruptor ke luar negeri susah diambil kembali. Kedudukan menjadi imbang 2-2.
Beralih pada urusan reformasi hukum dan undang-undang. Dulu, UUD 1945 sangat disakralkan dan tidak boleh dikutak-kutik isinya. Pasal-pasal dalam UUD 1945 dianggap terlalu eksekutif-centris akibatnya sering dilegitimasi khususnya oleh pemerintahan rezim Soeharto untuk kepentingannya sendiri. Namun dengan dilakukannya amandemen pada era reformasi terutama terhadap pasal-pasal UUD 1945, diharapkan peran eksekutif-legislatif menjadi lebih seimbang. Boleh juga kinerja tim “Pro Reformasi” untuk hal ini. Skor berubah: 3-2.
Eit, jangan keburu senang. UUD 1945 memang sudah diamandemen sesuai kebutuhan reformasi, tapi apakah hukum sudah lebih adil tidak lagi ditentukan oleh penguasa dan lebih berpihak kepada rakyat kebanyakan? Sebagai contoh kita comot kasus penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 yang sejak pemerintahan Megawati sampai SBY belum juga dituntaskan dan belum jelas siapa dalangnya. Belakangan, dengan adanya ‘pergantian pemain’ untuk posisi jaksa agung kita tunggu apakah kasus itu dapat diusut lagi meskipun katanya akan diproses melalui jalur pengadilan HAM biasa bukan pengadilan HAM berat (Jawa Pos 15 Mei 2007). Tidak masalah bagaimana prosesnya yang penting golnya, kan?
Namun kasus-kasus hukum lainnya yang lagi hot news, seperti kasus sengketa tanah di Meruya Selatan Jakarta atau kasus lumpur Lapindo cukup membuktikan kalau rakyat masih sering menjadi korban ketimpangan hukum. Skor kembali imbang 3-3.
Pertanyaan terakhir, sudah meningkatkah kesejahteraan rakyat atau justru semakin menderita di era reformasi ini? Yang jelas, salah satu penyebab reformasi 1998 adalah terjadinya krisis moneter yang memporak-porandakan perekonomian rakyat. Gawatnya, sekarang para ekonom memprediksi krisis moneter jilid II dapat meledak sewaktu-waktu (Republika 12 Mei 2007). Indikatornya macam-macam. Namun yang paling dirasakan rakyat adalah harga-harga kebutuhan pokok melambung di luar nalar, seperti tendangan bebas David Beckam saja! Setelah bensin dan minyak tanah naik setahun lalu kini minyak goreng bukan hanya naik tapi juga susah didapat. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi. Baik krisis moneter maupun reformasi jilid II. Kedudukan sementara ini tim “Pro Reformasi” tertinggal 3-4.
Bagaimana nih, SBY? Sebagai presiden yang sedang berkuasa saat ini tentunya dibutuhkan ekstra strategi dan tenaga untuk gol reformasi yang – bukan gagal – hanya belum sepenuhnya berhasil dijaringkan. Rakyat terus menunggu antara harap dan cemas karena sudah capek ditimpa berbagai macam kesulitan ekonomi dan bencana baik bencana alam maupun transportasi.
Mumpung ‘peluit tanda berakhirnya pertandingan’ belum ditiup. Masih ada injury time bagi SBY sebelum pilpres 2009 = masih ada kesempatan. Semoga bola bergulir ke arah yang seharusnya. Agar perjuangan reformasi 1998 tidak sia-sia …

(Artikel ini dimuat di Mingguan lokal "Ponorogo Pos" No. 300 Tahun VI, 24 Mei - 06 Juni 2007, yang terbit di kota Ponorogo Jawa Timur Indonesia)

Tidak ada komentar: