Minggu, Maret 30, 2008

Toleransi Ala "Ayat Ayat Cinta"

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tuhan “sengaja” menciptakan manusia berbeda-beda bangsa dan suku adalah agar manusia saling berinteraksi (Al-Hujuraat: 13). Maka, perbedaan dalam hal agama dan keyakinan pun sebenarnya merupakan suatu hal yang lumrah serta tidak perlu dipertentangkan terlalu tajam. Apalagi Indonesia terkenal sebagai negara paling heterogen di dunia, yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Hidup rukun dan damai dengan berbagai perbedaan itu – tentu saja – adalah harapan kita semua.

Kebetulan pada bulan Maret ini kita kedatangan tiga hari besar dari tiga agama yang berbeda, Setelah Hari Raya Nyepi pada tanggal 7 Maret kemudian berturut-turut tanggal 20 dan 21 Maret adalah Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Paskah (wafat Isa Al-Masih/Yesus Kristus). Kita wajib bersyukur – bukan hanya karena jatah libur kita menjadi bertambah – melainkan karena dalam peringatan hari-hari besar itu terkandung spirit yang luar biasa berguna sebagai refleksi dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat yang selama ini sudah berjalan cukup harmonis.

Menurut asal katanya saja, agama dari Bahasa Sansekerta yaitu “a” (tanpa) dan “gama” (kekacauan) maka dengan beragama diharapkan dapat menjadi pedoman bagi setiap pemeluknya untuk dapat hidup teratur dan tentram. Bukankan tujuan memeluk agama adalah untuk mendapatkan ketentraman? Dan saya yakin, semua agama pasti bertujuan untuk menyebarkan perdamaian, cinta kasih dan ketentraman kepada semua manusia, bukan hanya kepada mereka yang seiman, melainkan juga kepada mereka yang berbeda keyakinan bahkan kepada seluruh makhluk hidup.

Ayat Ayat Cinta

Sudah membaca buku Ayat Ayat Cinta? Buku (novel) Ayat Ayat Cinta karangan Habiburrahman El Shirazy yang kemudian difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo dengan judul yang sama itu menyedot animo sangat besar dari masyarakat. Buku yang sejak diterbitkan pertama kali pada akhir tahun 2004 itu menjadi best seller sampai detik ini. Sementara filmnya sampai hari Minggu (23/3) sudah ditonton 2,5 juta orang yang merupakan rekor untuk ukuran film nasional. Saya tidak bermaksud meresensi buku maupun film itu, apalagi mempromosikannya. Saya hanya mengajak untuk mengambil pesan yang disampaikan di dalamnya.

Salah satu kekuatan Ayat Ayat Cinta adalah tentang indahnya toleransi yang diperlihatkan para tokohnya, meskipun berbeda agama dan bangsa. Ketaatan menjalankan agama masing-masing justru menjadi perekat berinteraksi, saling toleran dan menghormati antar sesama. Itulah pesan yang terkandung dalam Ayat Ayat Cinta untuk kita teladani dan terapkan dalam kehidupan yang sesungguhnya.

Dikisahkan, Fahri adalah seorang pemuda Jawa yang saleh dan taat menjalankan agama (Islam) yang sedang menimba ilmu di Universitas Al Azhar Mesir. Tinggal bersama beberapa temannya yang juga dari Indonesia di sebuah flat (semacam rumah susun) di kota Cairo. Di flat itu mereka bertetangga dengan keluarga Maria yang asli Mesir dan menganut Kristen. Di dalam Ayat Ayat Cinta, interaksi antara Fahri cs dengan keluarga Maria yang berbeda bangsa dan agama itu digambarkan dengan sangat memikat.

Seperti pada waktu Fahri memberi hadiah untuk keluarga Maria pada hari istimewa mereka, atau ketika Fahri dirawat di rumah sakit keluarga Marialah yang banyak mengulurkan bantuan. Juga diceritakan bagaimana sikap Fahri ketika mengetahui atap flatnya kebocoran air yang berasal dari kamar mandi keluarga Maria (flat Fahri ada di bawah keluarga Maria yang berarti atap flat Fahri adalah lantai keluarga Maria), Fahri lebih memilih diam dan menampung rembesan air itu dengan sebuah ember agar tidak merepotkan dan menyakiti tetangga, demi mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.’ Sampai membuat keluarga Maria terharu. Ada juga sebuah momen ketika Fahri dan Maria behu-membahu menyelamatkan seorang gadis Mesir yang hendak dilacurkan ayah pungutnya. Fahri terbebas dari penjara karena difitnah pun berkat andil keluarga Maria.

Dikisahkan juga Fahri sempat menolong wartawati asal Amerika Serikat yang menjadi bulan-bulanan orang-orang di dalam kereta api, semata karena Fahri memegang prinsip bahwa ahlu dzimmah (non muslim yang hidup damai di negara kaum muslimin) harus dilindungi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang lainnya, ‘Barangsiapa yang menyakiti dzimmi maka dia menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah!’

Menurut penulis Ayat Ayat Cinta sendiri (Habiburrahman), harmonisasi antar umat beragama yang terjadi di Mesir itu bukan imajinasi belaka, melainkan berdasarkan kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan Indonesia pun, sebenarnya sudah cukup berpengalaman dalam hal toleransi antar umat beragama sejak berabad-abad silam sebagaimana digambarkan Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Sangat sedikit negara di dunia yang dapat bertahan dalam kemajemukan seperti Indonesia. Yugoslavia dan Uni Soviet adalah segelintir contoh negara yang gagal mengemas segala perbedaan dalam tubuhnya sehingga kedua negara itu kini terhapus dari peta sejarah.

Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa pernah terjadi “gesekan” bernuansa SARA yang cukup meresahkan, seperti di Poso, Sampit ataupun Ambon beberapa tahun yang lalu. Berkat kerja keras semua pihak, daerah-daerah tersebut sekarang sudah berangsur-angsur damai. Tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi lagi, kecuali mereka yang tidak waras atau berniat buruk pada kesatuan negeri ini. Ngeri rasanya membayangkan Indonesia bernasib seperti Yugoslavia ataupun Uni Soviet.

Demikianlah, ketaatan dan pengetahuan yang paripurna pada ajaran agama sesungguhnya tidak akan membuat orang menjadi intoleran dan merasa benar sendiri. Fahri dan Maria telah mencontohkan dalam Ayat Ayat Cinta. Saya yakin, masih banyak orang-orang seperti (atau yang ingin seperti) Fahri dan Maria di dunia ini. Sebaliknya, orang-orang macam Imam Samudra cs (pelaku teror bom Bali) dan Fabianus Tibo (otak kerusuhan Poso) cukup satu saja dan jangan pernah ada lagi untuk selamanya.

Sangat benar bahwa fanatisme agama yang menjurus pada tindakan destruktif – terlebih teror – bukan berasal dari ajaran agama apapun, minimal merupakan interpretasi yang keliru dan tak lebih dari memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok yang mencatut nama agama. Agama yang disampaikan dengan kekerasan tidak akan mendapatkan simpati, justru akan membuat orang lari dari agama. Dengan mendalami agama masing-masing dan menjalankan sesuai syariatnya justru membuat kita lebih bijak dalam mengarungi hidup yang penuh perbedaan ini. Dan membina kehidupan yang sebaik-baiknya kepada semua manusia – sekali lagi meskipun berbeda-beda agama, keyakinan, ras, suku, bangsa, (ataupun partai politik) adalah kebaikan yang terbaik dalam hidup. Percayalah.

Ket.: artikel ini juga dapat ditemui di Mingguan Ponorogo Pos No. 339 Tahun VII, 27 Maret - 02 April 2008. Lumayan dapat "cepek" ... buat beli bensin selama sebulan ... hehehe ...

Tidak ada komentar: