Sabtu, Februari 21, 2009

Maaf, Tidak (Belum) Ada Parpol yang "Hijau"


Di seluruh daerah, dari kilometer nol di Sabang Pulau We sampai pelosok Merauke kota paling timur Indonesia di Papua, dapat dipastikan akan kita lihat pemandangan yang sama: bendera, spanduk, poster, striker dan lain-lain bergambar logo parpol serta gambar caleg beterbaran di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan ukuran. Semakin dekat dengan hari “H” pemilu 2009, makin merajalela atribut politik itu, dengan menawarkan seribu satu macam jargon dan janji.

Entah disadari atau tidak, sejatinya kita menghadapi suatu permasalahan yang serius. Yaitu tidak ada satupun parpol dan caleg peserta pemilu 2009 yang ramah terhadap lingkungan (setidaknya sampai tulisan ini saya buat). Pengurus/simpatisan atau siapapun dari pihak parpol maupun caleg – meminjam istilah orang Jawa – sa’ enake udele dhewe menjadikan pepohonan sebagai tempat memasang bendera, poster, gambar parpol dan/atau caleg jagoan mereka. Baik di jalan-jalan protokol di pusat kota sampai di jalanan kampung dan pedesaan. Pendek kata, “bangsa pohon” di Indonesia sudah beralih fungsi – dari penyerap polusi dan penyejuk pandangan menjadi etalase promosi gratis para parpol dan caleg-calegnya. Pepohonan pun menjadi penuh polusi dan tidak lagi sedap dipandang. Parahnya, keadaan ini sudah berlangsung berulang-ulang di setiap pelaksanaan pemilu. Well, berarti sudah berapa juta pohon menjadi korban untuk kepentingan kampanye?

Memang inilah kenyataan yang terjadi. Karena itu – sampai sementara ini – saya men-judge bahwa (sekali lagi sampai tulisan ini saya buat) tidak ada satupun parpol yang “hijau”. Memasang tanda/lambang parpol atau gambar caleg di pohon (biasanya dengan dipaku), adalah tindakan terorisme yang nyata terhadap alam-lingkungan. Dan sebenarnya itu melanggar hukum. Di beberapa kota/daerah – sependek pengetahuan saya – sudah ada perda yang mengatur tata tertib kampanye untuk tidak menggunakan pohon (apalagi di jalur hijau) untuk dipasangi atribut kampanye. Tapi kenyataannya? Entah sengaja atau berlagak pilon, para pengurus/simpatisan parpol dan caleg itu sepertinya lebih memilih melanggar hukum. Persyaithon kelestarian alam, yang penting kampanye jalan terus. Mungkin demikian pemikiran yang ada di dalam batok kepala mereka.

Ketahuilah, setiap paku yang ditancapkan untuk memasang entah gambar parpol atau caleg, akan mengakibatkan kerusakan pada kambium pohon. Ujung-ujungnya akan menyebabkan disfungsi pada sistem kehidupan sang pohon tersebut secara keseluruhan. Kalau sekarang misalnya dibalik, apa mereka (yang memasang gambar parpol dan caleg itu) mau ditancapi paku di bagian-bagian tubuhnya?

Mestinya perlu dipikirkan cara lain untuk berkampanya dengan tanpa membuat kerusakan pada pohon (nota bene: alam). Cara lain yang bagaimana? Nah, biar itu menjadi urusan parpol dan caleg masing-masing. Yang jelas, melihat pohon-pohon itu dirusak, hati kecil saya (dan siapa saja yang masih waras) takkan rela. Tapi saya tak berdaya berbuat apa-apa karena saya sendiri bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang pecinta alam amatiran. Yang mencoba turut melestarikan lingkungan, dengan cara apapun dan sekecil apapun.

Oleh karena itu, saya mohon kepada para pengurus parpol dan caleg, perhatikanlah kelestarian alam. Pepohonan juga makhluk yang bernafas seperti manusia, bahkan faedahnya sangat besar bagi kehidupan kita. Lindungi hak-haknya, seperti halnya Anda berusaha melindungi hak-hak Anda. Mumpung masih ada waktu untuk berubah sebelum hari pelaksanaan pemilu 2009. Seperti anak muda zaman sekarang bilang: Go green gitu looh. Maka, perbaikilah cara kampanye yang buruk itu. Tapi apabila keadaan tidak berubah, apa sebaiknya pada waktu coblosan nanti saya tetap di rumah saja? Bersantai main gitar tua kesayangan saya di beranda. Menyanyikan lagu lama Iwan Fals: “Surat Buat Wakil Rakyat”, sambil mencoba memendam segala kekecewaan kepada mereka (para parpol dan caleg itu) dalam-dalam …

Ket.: Foto koleksi pribadi.

File terkait:

1. Artikel-artikel lainnya.

2. Aneka ragam.



Tidak ada komentar: