Jumat, Mei 15, 2009

A Little Lesson from Rainbow

Apa jadinya bila Tuhan menciptakan pelangi dari satu macam warna saja? Mungkin pelangi tidak lagi indah. Hanya kusam saja, monochrome. Karena justru berkat kombinasi spektrum warna mejikuhibiniu itulah pelangi menjadi luar biasa indahnya. Entah akan disebut apa pelangi nantinya jika hanya terdiri dari satu warna.

Demikian pula dengan kehidupan manusia di dunia ini. Tuhan "sengaja" menetapkan bahwa dalam penciptaan manusia, mereka (manusia) akan terdiri dari berbagai suku, bangsa, negara, bentuk fisik, adat-istiadat, nasib, profesi, pemikiran, partai politik, juga agama (lihat QS Al-Hujuraat: 13). Padahal apabila Dia menghendaki, niscaya mudah saja bagi-Nya membuat manusia di muka bumi ini menjadi satu umat saja yang beriman kepada-Nya (QS Al-Maidah: 48). Dari sinilah, dilihat dengan sudut pandang manapun, segala tindakan, perbuatan, maupun skenario yang bermaksud menyeragamkan apa yang telah ditetapkan-Nya berbeda adalah pembangkangan terhadap hukum alam (baca: sunatullah).

Pluralisme adalah nonsense
Paham Pluralisme - yang belakangan menyusup di Indonesia - sesungguhnya dari dulu sampai sekarang selalu mengintip celah untuk menggerogoti ajaran agama-agama yang sudah mapan dan - lebih ngawur dari sinkretisme - hendak merusak fundamental ajaran agama-agama seenak pusarnya sendiri. Mereka adalah pihak yang tidak puas dengan takdir Tuhan. Kemudian merasa lebih pintar alias keminter dari Yang Maha Mengetahui. Orang-orang seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon, John Hick, plus Komunitas Eden, termasuk oknum-oknum yang mensponsori paham sesat itu dapat dikatakan telah lancang menentang takdir Tuhan tentang perbedaan luhur agama-agama itu. Namun dapat dipastikan upaya mereka 'bak mendirikan benang basah. Bakal muspro. Karena kini, pemuka agama-agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dll) semakin menyadari akal bulus mereka. Tinggal kitanya sendiri, yang diharapkan dapat menjalani syari'at agama masing-masing dengan sebaik-baiknya sehingga paham-paham sesat - semanis apapun kemasannya - tidak dapat menggoyahkan kita.

Terorisme Bukan Ajaran Agama
Sangat mengecewakan bahwa stigma teroris disematkan kepada suatu agama tertentu. Padahal, terorisme bukanlah ajaran agama apapun. Pihak-pihak yang melakukan teror tak lebih adalah oknum yang mencatut nama agama demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Maka orang-orang seperti Imam Samudra cs. (pelaku bom Bali), Fabianus Tibo (otak teror Poso) hanyalah sampah masyarakat macam George W. Bush (nah, kalau ini memang biangnya teroris!), Ehud Olmert (mantan PM Israel, penjahat perang Palestina) ataupun Adolf Hitler (gembong Nazi di Perang Dunia II). Mereka hanyalah sekumpulan megalomaniac yang tak pantas didukung apalagi ditiru.

Last but not least, Pluralisme sama sesatnya dengan paham-paham lain semacam Naziisme atau Zionisme yang memang gemar menghancurkan bangsa/agama/golongan di luar mereka. Kembali lagi, bahwa dengan pendalaman yang paripurna tentang ajaran agama masing-masing akan membuat manusia lebih bijak dalam mengarungi kehidupan yang penuh perbedaan ini. Dan membina kehidupan yang sebaik-baiknya dengan sesama manusia - meskipun berbeda-beda agama, keyakinan, ras, suku, bangsa, bahasa, dan lain-lain adalah kebaikan yang terbaik dalam hidup. Kehidupan pun akan seindah-secemerlang pelangi yang terdiri dari berbagai warna dan tidak dicampuradukkan satu sama lain. Pelangi indah karena berbeda-beda. Sejatinya, kehidupan seperti itulah yang didambakan kita semua di dunia ini.

By: Rotmianto (Unmuh Ponorogo, ba'da Sholat Jumat, 15/05/2009)
Terinspirasi setelah membaca artikel tentang Pluralisme di Harian Umum Republika (Kamis, 14/05/2009)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Semua yg dilakukan manusia sebenarnya termasuk yg sudah ditakdirkan Allah. Pandanglah segala kebaikan dan keburukan sebagai warna pelangi yang berakhir indah dibenak kita. Biarkan Allah mengatur semua ciptaanNya dengan caranya sendiri. Semoga kita termasuk yg ditakdirkan makrifatullah. Tapi ingat "Iblispun ditakdirkan Makrifatullah".