Rabu, Juni 23, 2021

Kenangan Tiga Tahun Rinjani (2018-2021) Part 1: Start Desa Sembalun - Puncak Rinjani

Kisah pendakian saya yang penuh "TER". Terjauh, terlama, terberat, tertua, dan mungkin... terakhir sebelum memutuskan pensiun alias "gantung carrier": Rinjani (3.726 mdpl), Nusa Tenggara Barat. 

Catatan: 

Terhitung HARI PERTAMA saya (Rotmianto Mohamad) memulai petualangan. Berangkat dari rumah Ponorogo (Jawa Timur) Sabtu 23 Juni 2018 dini hari sekitar pukul 00:00, naik motor Suzuki Skydrive tercinta (yang waktu itu odometernya sudah lebih dari 100 ribu km alias balik lagi ke-0 km! Cerita pas 0-nya di sini), berboncengan bersama partner mendaki terbaik: Sudarto alias Darto, asal Pacitan (selain seorang teman lagi the best partner yang namanya Agus Bambang Irawan asal Surabaya domisili di Gresik tapi sayangnya dia tidak ikut karena tidak bisa bolos kerja kayak saya... hehehe). 
Sampai Surabaya pagi hari, mampir rumah masa kecil, kampung halaman, sekaligus tempat lahir: Jl. Golf I No. 55 Gunung Sari. Lanjut ketemuan sama Jefri yang sudah janjian sejak beberapa bulan sebelumnya di Jl. Darmo Surabaya, kemudian langsung menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Jefri juga naik motor, Yamaaf Fiction (bukan merk sebenarnya). Dari Tanjung Perak kami naik KM Legundi, kapal satu-satunya trayek Tanjung Perak Surabaya - Pelabuhan Lembar Lombok yang hanya berangkat seminggu dua kali, mulai take off sekitar pukul 15.00. Perjalanan naik KM Legundi memakan waktu sekitar 23 jam, tapi sungguh terasa menyenangkan. Menikmati angin dan arus laut yang relatif tenang. Menikmati sunset. Menikmati salat di atas kapal yang bergoyang. Juga menikmati nasi bungkus di kantin kapal yang mahal tapi hambar, hehehe... NB: tiket kapal waktu itu 225 ribu per orang + 1 motor.

HARI KEDUA. Ahad 24 Juni 2018. Pagi hari, kami menikmati sunrise di atas kapal. Saat itu kami sudah meninggalkan WIB dan memasuki WITA. View menakjubkan ketika sampai di perairan Bali, tampak Gunung Agung di kejauhan. Masyaallah... Kapan ya bisa naik ke sana... terburu pensiun!

Sampai di Pelabuhan Lembar Pulau Lombok NTB sekitar 16:30 WITA. Dengan berlatar KM Legundi yang bermandikan jingga matahari senja, tak lupa berfoto dulu bersama Skydrive tersayang. Yang lain minggir dulu, ya! Hehehe...
Selain saya, Darto, dan Jefri ada dua tambahan teman seperjalanan. Mereka orang Cepu, sekota asal dengan Jefri, yang juga naik motor seperti kami. Jadi total rombongan kami menjadi lima orang dengan tiga motor. Malam itu juga, kami memutuskan "mencicil" perjalanan menuju Desa Senaru, Lombok Utara. Lepas Pelabuhan Lembar, kami menuju Kota Mataram. Kota sudah agak sepi waktu itu. Padahal baru sekitar jam 20:00. Dan kami hanya lewat, langsung lanjut sampai tengah malam menyusuri jalur pesisir utara Pulau Lombok yang mulai lengang. Menjelang tengah malam, kami memutuskan rehat di sebuah rest area di Desa Kayangan. Waktu itu memang masih banyak rest area di mana-mana karena masih suasana libur Lebaran. Anyway, malam itu ada siaran langsung putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia. Ada nobar pakai layar tancap di situ. Ramai orang, macam pasar malam. Tapi kami lebih memilih tidur, lihat skornya saja besok pagi di Google... hehehe. Selain itu kami juga harus mengistirahatkan motor sebelum besok dipacu lebih berat medannya. Mana motor milik teman serombongan yang orang Cepu itu sedang rewel... dasar Ronda Supri (bukan merk sebenarnya), gak malu sama Skydrive yang lebih tua dan sudah balik 0 km? Menang laris doang, kau! Hahaha!

HARI KETIGA. (NB: pendakian terhitung hari pertama) Senin, 25 Juni 2018. Kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Senaru Kabupaten Lombok Utara. Estimasi jarak mulai dari Lembar sekitar 150 km (menurut Google Map). Saat itu kira-kira kami sudah menempuh lebih dari setengahnya. Perjalanan asyik sekali. Aspal mulus, semulus kulit kedondong... hahaha! View-nya juga hebat, kombinasi pemandangan pesisir dengan latar laut biru dengan perbukitan yang hijau. Tapi hati-hati, banyak anjing berkeliaran sembarangan di jalanan. Mereka anjing lokal endemik khas Lombok. Awas nabrak!
Tak lupa sebelum berangkat kami sempat berfoto bersama tuan rumah tempat kami numpang tidur di balai-balainya (foto bawah, dijeret pukul 06:56). Karena yang punya rumah tidak mau menerima pembayaran uang, akhirnya kami belikan gula dan kopi. Bukan untuk apa-apa kecuali sekadar pengikat silaturahim saja. Siapa tahu kapan-kapan numpang lagi, kan tidak bikin malu daripada kalau gratisan mentah-mentah begitu saja. Hahaha! Catat nih: backpacker sejati tidur di mana pun tak masalah, tidak harus di hotel atau penginapan. Kan malah lebih terasa aura petualangannya! Alasan, padahal maunya ngirit... hahaha!

Setelah sekian tanjakan, turunan, serta belokan sampailah kami di Desa Senaru Kabupaten Lombok Utara yang berhawa sejuk karena berada di dataran tinggi. Saat itu sekitar pukul 08.00. Rencananya: kami meninggalkan motor di desa itu kemudian memulai pendakian dari Desa Sembalun. Pendakian Gunung Rinjani lazimnya demikian. Start Sembalun, finish Senaru. Motor akhirnya kami titipkan di Kampung Adat yang berlokasi di desa itu. Kamudian kami mencarter pick-up menuju Desa Sembalun. Harga sewa waktu itu 200 ribu sekali jalan. NB: di seantero pulau Lombok memang banyak perkampungan dengan rumah-rumah khas berdinding dan beratap rumbia seperti pada foto di bawah ini. Wisatawan juga boleh menginap di desa adat itu. Warganya ramah-ramah. Satu hal yang harus diperhatikan: banyak anjing. Baik liar maupun yang dipelihara. Kadang ada yang nakal, suka mengendus-endus bahkan mencopet makanan. Tapi ya cukup di-hush saja, jangan disakiti.
Dengan pick-up carteran sampailah kami di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur dua jam kemudian. Segera setelah melapor ke basecamp Sembalun dan "mengisi bensin" (baca: makan siang) kami pun memulai pendakian. Tak lupa - tentu saja - berdoa dulu bersama-sama. INGAT: prinsip utama pendakian adalah keselamatan tetap harus diutamakan, puncak hanyalah bonus. Selalu berdoa agar perjalanan lancar dan sukses selama pendakian dan pulang kembali dengan selamat. 
PENTING: di basecamp setiap rombongan pendaki akan dibekali sebuah tas khusus untuk menampung sampah selama perjalanan alias trash bag. Bagus lho trash bag-nya, khas Rinjani banget. Sayangnya tidak boleh dimiliki, padahal bagus buat suvenir. Intinya: BAWA SAMPAH ANDA TURUN! Dan, Bismillah... langkah pertama menuju puncak Rinjani yang sudah saya idamkan sejak masa kuliah hampir 30 tahun lalu pun dimulai. Ini semua berkat karunia Allah SWT, izin keluarga, dan sponsor utama yaitu Darto... hehehe. Jangan lupa foto dulu sebelum berangkat. Dijepret pada pukul 11:47. Keterangan: Darto (kiri) dan saya. 

BASECAMP SEMBALUN - POS 1 PEMANTAN memakan waktu kurang dari dua jam. Ditempuh dengan berjalan santai. Seperti pemanasan saja. Trek memang masih cenderung datar. Sejauh mata memandang tampak sabana padang ilalang dengan sekelompok pepohonan di lekuk-lekuk lembah dan perbukitan. Alhamdulilah, cuaca cerah. Banyak sapi-sapi milik orang desa digembalakan di kiri-kanan sepanjang jalur pendakian. Suara lenguh disertai denting lonceng yang tergantung di lehernya bertimpal dengan kicau burung-burung liar sungguh terdengar menentramkan.
Saat itu banyak sekali yang juga naik, selain kami. Baik pendaki domestik maupun dari mancanegara. Tak heran sesekali terdengar bahasa yang aneh-aneh, selain bahasa Indonesia, bahasa lokal, dan bahasa Inggris. Aah, tak peduli mereka dari mana. Asal bayar pajak, perekonomian masyarakat setempat pun berputar, habis perkara! 
Oh iya, sekadar informasi bahwa di sekitar basecamp Sembalun tersedia juga ojek motor yang siap mengantar sampai Pos 2. Tapi harganya jangan tanya. Gila-gilaan! Lagi pula itu hanya untuk pendaki malas dan yang kebanyakan duit. Kalau saya sih cuma modal dengkul. Perkecualian Darto dan Jefri. Mereka meskipun berduit, tapi lebih memilih jalan kaki mulai basecamp, sekali lagi tentu saja: supaya aura petualangan lebih terasa. Begitu kan idealnya! Namanya naik gunung ya harus siap jalan kaki mulai basecamp, kok malah ngojek! Kenapa tidak sekalian saja nyewa helikopter sampai puncak? Hehehe. Bercanda! NB: rehat sejenak di Pos 1 Pementan, foto diambil diambil pukul 14:27.

INSERT: "Kisah Porter Rinjani"
Ini perlu ditulis untuk menjadi bahan renungan. Yaitu tentang porter-porter Gunung Rinjani yang gagah perkasa. Dari mulai usia belasan sampai bapak-bapak tua. Betapa luar biasa mereka, menempuh rute pendakian yang kejam itu sambil mengangkut beban hingga setengah kuintal hanya dengan sebelah bahu! Dan jangankan bersepatu, sering-seringnya malah hanya bersandal jepit atau bahkan bertelanjang kaki. Perjuangan tak terperi untuk menghidupi keluarga tercinta yang menunggu sambil berharap cemas di rumah. Dalam hal ini saya justru berdoa semoga masih banyak pendaki-pendaki yang malas membawa barang-barangnya sendiri, sehingga jasa mereka - para porter itu - akan tetap dibutuhkan. Maka, bagi siapa saja yang masih mengeluh karena merasa pekerjaannya demikian berat sedangkan hasilnya teramat kecil, berkacalah pada para porter Rinjani, karena beban hidup Anda belum ada seujung kuku pun dibandingkan dengan mereka!

POS 1 PEMANTAN - POS 2 TENGENGEAN kurang lebih satu jam. Di sepanjang perjalanan menuju Pos 2 banyak melewati jembatan seperti ini

Sampai di POS 2 TENGENGEAN pukul 15:31 (waktu foto diambil). Istirahat sejenak di shelter, sebelum lanjut ke POS 3. Banyak orang berjualan di POS 2. Anda tidak perlu takut kehabisan bekal. Tapi ya siap-siap saja kalau harganya lebih mahal dari biasanya. Wajarlah, kan di gunung. Nanti semakin ke atas harga juga akan semakin berlipat. Kalau tidak mau maklum ya jangan naik gunung, tapi naik mall saja. Hahaha! Untunglah kami sudah mengisi carrier dengan perbekalan penuh sejak di Desa Sembalun tadi, dengan harga yang masih wajar tentu saja. Berat di punggung tak mengapa, asal tidak terlalu berat di ongkos. Hahaha (lagi).

POS 2 TENGENGEAN - POS 3 PADABALONG membutuhkan waktu kurang lebih dua setengah sampai tiga jam. Ada spot menarik dalam perjalanan ke POS 3 PADABALONG, yaitu sebuah pohon di tengah sabana yang konon menjadi setting salah satu adegan film "Romeo & Rinjani" yang rilis sekitar tahun 2015, sehingga pohon itu menjadi area "wajib foto" di kalangan para pendaki. Saya pribadi sih belum menonton filmnya. Tidak masalah, yang penting sudah menjumpai pohon ikonik itu dengan mata kepala sendiri. Foto itu diambil pada pukul 16:56. Eh pas ada yang ngecamp di situ. Kayaknya mereka mau niru film "Romeo & Rinjani", hehehe... 

Alhamdulillah,  sampai juga di POS 3 PADABALONG. Puncak Rinjani sudah mulai terlihat di kejauhan. Di POS 3 PADABALONG kami mendirikan camp. Dengan kata lain, itulah malam pertama kami selama pendakian Rinjani. Foto pertama begitu sampai di POS 3 PADABALONG diambil pada pukul 17:58.

HARI KEEMPAT(NB: pendakian terhitung hari kedua) Selasa, 26 Juni 2018. Pagi hari sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempat menambah bekal air dulu di mata air tak jauh dari lokasi camp POS 3. Di mana terdapat aliran sungai yang sudah mengering. Penduduk setempat menggali lubang-lubang di dasar sungai kering itu. Sekitar 1 - 1,5 meter dalamnya. Dan ajaib... air memancar dari dasar lubang. Jernih, sangat layak dikonsumsi.
Sekitar pukul 10:00 kami berangkat. POS 3 PADABALONG - POS 4. Estimasi waktu tempuh: dua sampai tiga jam. Di rute menuju POS 4 itulah pendaki akan menapak suatu jalur yang sangat legendaris di Gunung Rinjani, yaitu TUJUH BUKIT PENYESALAN. Tapi sebelum berangkat, tak lupa narsis dulu buat kenang-kenangan. Berusaha tetap terlihat keren maksimal meski hanya pakai kacamata Rayban kw 3. Hahaha! Meskipun kacamata kw itu akhirnya "almarhum" tak lama setelah itu karena tak sengaja terinjak Darto. Lagi-lagi: hahaha! 

Dan ini beberapa rekam jejak ketika menapak TUJUH BUKIT PENYESALAN, di mana lutut kadang-kadang bertemu dada, disertai peluh bercucuran membasahi badan, seiring setiap helaan dan erangan nafas. Konon, dinamakan TUJUH BUKIT PENYESALAN karena kita harus mendaki tujuh bukit dengan tingkat kemiringan mencapai 70 derajat terlebih dulu sebelum meraih "surga" yang bernama PELAWANGAN SEMBALUN. Sejujurnya saya tidak sempat mengamati atau menghitung apakah benar bukit yang didaki berjumlah tujuh buah. Dengan usia di atas kepala empat ditambah membawa carrier yang cukup besar, hampir-hampir TUJUH BUKIT PENYESALAN mengalahkan saya. Apalagi cuaca saat itu cukup menyengat. Sangat menguras tenaga! Apakah lutut tua saya ini masih bisa tahan? Sempat bimbang waktu itu. Tapi bayangan keindahan Puncak Rinjani membuat saya terus bersemangat. Alih-alih saya yang tua bangka, Darto dan Jefri yang masih muda-muda saja kewalahan! Hehehe... Yang penting: Bismillah, tetap maju ke depan meski selangkah demi selangkah! Puncak, kami datang!! 
TIPS: 
Sekadar berbagi kiat bagi yang ingin mendaki Gunung Rinjani sangat disarankan membawa tracking pole. Kalau bisa sepasang kayak punya teman kami Jefri. Keberadaannya luar biasa signifikan. Apalagi bagi pendaki-pendaki uzur yang masih nekat naik gunung macam saya!

Sampailah kami di POS 4 pada sekitar pukul 11:30. POS 4 ini disebut juga POS BUKIT PENYESALAN. Kami istirahat sejenak untuk mengembalikan energi di shelter. Sesekali mengobrol bersama porter-porter atau pendaki lain. Kadang iseng ber-conversation bersama pendaki bule, sekalian menguji bahasa Inggris kami. Tentu saja Jefri yang paling canggih, soalnya dia bekerja di sekolah internasional di Surabaya. 
Eit, jangan lupakan hal terpenting: foto-foto untuk kenang-kenangan seumur hidup, sebelum dan ketika melanjutkan perjalanan lagi menuju PELAWANGAN SEMBALUM, tepat pukul 12:00. Sekadar info, estimasi waktu POS 4 BUKIT PENYESALAN - PELAWANGAN SEMBALUM antara dua setengah sampai tiga jam.

Alhamdulillah akhirnya sekitar pukul 13:30 sampai di PELAWANGAN SEMBALUN. Sebuah surga yang dijanjikan bagi mereka yang tabah menjalani siksaan sepanjang jalur BUKIT PENYESALAN. Foto pertama diambil pada pukul 13:36. Saat itu sudah banyak yang mendirikan camp di area PELAWANGAN SEMBALUN. Kami pun segera mencari tempat yang cocok untuk tenda-tenda dome kami. Dan, saat kami datang, sudah terdapat puluhan tenda dome berdiri di situ, di "surga" yang bernama PELAWANGAN SEMBALUN.

Di PELAWANGAN SEMBALUM, kami baru mulai mendirikan camp menjelang sore hari, sekitar jam 16.00. Gara-gara keasyikan istirahat dan tidur-tiduran. Baru sadar kalau hawa semakin dingin. Ketinggian PELAWANGAN SEMBALUM mencapai 2.639 mdpl, apalagi medannya terbuka. Begitu matahari condong ke barat sedikit saja, hawa dingin sudah menjalar seantero kawasan. Kami pun mendirikan tenda dome sambil berlomba dengan hawa dingin yang semakin menusuk! 

Segera setelah tenda dome kami berdiri, takkan kami lewatkan menikmati suasana sunset petang itu. Meski matahari tertutup awan tebal, tak mengurangi keindahan panorama.
Informasi penting bahwa PELAWANGAN SEMBALUN adalah camp area atau pos terakhir sebelum Puncak Rinjani dan merupakan tempat pertemuan atau persimpangan menuju Puncak baik dari rute Desa Sembalun, Desa Senaru, dan rute lainnya. Areanya sempit memanjang dan terbuka dengan beberapa area datar yang sangat cocok buat mendirikan camp. Tak seberapa banyak pepohonan besar di situ. Kebayakan tumbuhan perdu, sedangkan pepohonan besar sebangsa pinus (Casuarina junghuhniana) tumbuh bergerombol di lembah-lembah sekitarnya, juga di sebelah atas, ke arah menuju Puncak. Melihat areanya yang terbuka kalau saya bayangkan akan gawat juga jika terjadi hujan badai. Dari pengalaman itu sepertinya dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk naik Rinjani memang lebih disarankan memilih musim kemarau daripada musim hujan. 
Apabila dideskripsikan sesuai dengan peta, posisi PELAWANGAN SEMBALUN adalah sebagai berikut:
- sebelah timur adalah Desa Sembalun (tempat kami start)
- sebelah utara adalah Desa Senaru (tujuan kami turun) 
- sebelah selatan adalah Puncak Rinjani
- sebelah barat adalah Danau Segara Anak, posisinya persis di bawahnya
(mohon dikoreksi kalau salah)
Dan berikut adalah beberapa momen berharga selama sore menjelang malam di PELAWANGAN SEMBALUN sebelum kami beristirahat untuk melakukan "summit attack" pada dini hari. Dan itulah malam kedua kami di Rinjani.
 
 

HARI KELIMA(NB: pendakian terhitung hari ketiga) Rabu, 27 Juni 2018. Saat yang bersejarah tiba. SUMMIT ATTACK! Estimasi waktu tempuh PELAWANGAN SEMBALUN - PUNCAK: setidaknya lima sampai enam jam.  
Kami sudah bersiap sejak pukul 01:00 dini hari. Jam berangkat pasnya lupa. Mungkin tiga puluh menit kemudian. Kami hanya membawa senter, tracking pole, kamera, dan bekal seperlunya, carrier dan sisanya kami tinggal di dalam tenda. Saat itu banyak yang melakukan summit attack juga. Tak terhitung, hanya terlihat sorot-sorot senternya dari sana-sini. Pasca PELAWANGAN SEMBALUN jalan menanjak terus. Kami melewati sekumpulan hutan yang masih cukup rapat. Laporan cuaca: angin lumayan kencang, langit berawan, tapi tidak terlalu gelap karena pendar cahaya bulan. Jefri yang membawa tripod sempat mengabadikan bulan di atas Danau Segara Anak. Meski memasangnya cukup memakan waktu, tapi hasilnya lumayan. Dijepret pukul 02:15.

Setelah meninggalkan lebatnya hutan, kami mulai memasuki medan berpasir. Semakin ke atas, semakin jarang pepohonan tumbuh, kecuali hanya perdu dan semak belukar. Dan tentu saja: edelweiss, sang bunga abadi. Keberadaan bunga yang bernama Latin Anaphalis viscida itu mulai menyeruak di sana-sini. Meskipun sekeliling masih diliputi gelapnya malam, namun sesekali sorot senter kami berikut timpa cahaya bulan dari langit sudah cukup untuk mengungkap keindahannya. 
Setelah itu kami keluar dari batas vegetasi. Sudah tidak ada tumbuhan selain pasir dan bebatuan. Tanjakan pun semakin berat. Dan... seriring dengan pendar cahaya dari ufuk timur. Puncak mulai terlihat!
Rute seperti itu: setelah tanjakan di tengah hutan disambung dengan medan berpasir, mengingatkan pada Semeru. Ya, mirip dengan rute Arcapada - Puncak Mahameru. Tapi bedanya, begitu lepas Arcapada, rute langsung "njengat" ke atas ke arah Puncak Mahameru. Seperti tanpa basa-basi. Sedangkan rute menuju Puncak Rinjani yang kami tempuh saat itu cenderung menyisir terlebih dulu sebelum mengarah ke Puncak. Bukan lantas berarti rute Puncak Rinjani lebih ringan dari Semeru! Menurut saya sama saja. Namun setidaknya saya rasakan Puncak Rinjani "lebih aman", meskipun saat itu ada puluhan bahkan mungkin ratusan pendaki lain yang berjalan berbaris-baris menuju Puncak, saya tidak khawatir akan terjadi kelongsoran, seperti yang pernah saya alami bersama beberapa teman kuliah dulu pada pendakian 17 Agustus 1996 di mana kami kelongsoran pasir dan batu akibat pendaki yang over load menuju Puncak Mahameru menjelang Upacara 17 Agustus. Waktu kejadian juga sama, pada dini hari. Rombongan waktu itu selain saya: Tri, Joko, Kun, dan Rachmad. Masih belum hilang dari ingatan, ketika bebatuan ambrol dan menggelinding dari atas. Suaranya berdentam di tengah kegelapan, seiring dengan teriakan satu-dua orang yang tertimpa. Ajaib, tidak ada korban jiwa! Hanya luka-luka saja. Teman kami Rachmad menjadi salah satu korban kelongsoran. Tangan patah, kepala bocor. Seru, sekaligus mengenaskan, dan tentu saja: tak terlupakan! Kalau mau tahu tentang kisah itu, kau simak saja sendirilah ceritanya di sini. Anda, Pembaca, mungkin mengira kisah ini adalah bagian dari novel atau film "5 Cm." yang pernah booming tahun 2012 lalu. Ya, Anda tidak salah. Kami JUGA mengalaminya sendiri!  

Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar! Akhirnya kami sampai di PUNCAK DEWI ANJANI GUNUNG RINJANI! Kami menapak puncak setinggi 3.726 mdpl itu sekitar pukul 06:00 WITA. Inilah puncak tertinggi ketiga di Indonesia setelah Cartenz Pyramid di Papua dan Kerinci di Sumatera, dan puncak kedua untuk kategori gunung yang masih aktif setelah Kerinci. Memang waktu itu kami sedikit melewatkan sunrise, kami menikmatinya di lereng tidak tepat di Puncak. Tapi tak mengapa, karena panorama Puncak Rinjani pun sudah teramat luar biasa pagi itu. Cuaca sangat cerah, bahkan garis pantai di sekeliling Pulau Lombok pun terlihat jelas. Awan-awan putih di bawah kami, juga nun di sana tampak Danau Segara Anak yang berkilau.
Ya Allah Tuhan Yang Mahakuasa, sungguh tak terkira rasa syukur telah diberi kesempatan menapakkan kaki di Puncak Rinjani. Apalagi tepat di hari ulang tahun ke-18 anak laki saya Zinedine Zidney AR. Selamat ulang tahun ya, Nak. Semoga kau meraih puncak yang lebih tinggi dari yang pernah diraih bapakmu ini. Saya sampai kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perasaan waktu itu...

Bersambung kisah camp di Danau Segara Anak dan Pelawangan Senaru...
Klik untuk membaca lanjutannya: Kenangan Tiga Tahun Rinjani (2018-2021) Part 2
 



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Wow keren gan
Kok masih inget kacamatanya rusak aku injak gan, 😂

Rotmianto Mohamad mengatakan...

eeh..agan darto...hehehe, maaf baru respon. iya, ya ingatlah... kan pengalaman seru..hehehehe. kapan nih naik lagi, keburu tua... hahaha.